Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka menegaskan bahwa keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari rezim keuangan negara. 

Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi VI DPR RI dengan Pakar Hukum UGM Prof. Dr. Mailinda Eka Yuniza, SH, LLM., Pakar Hukum Universitas Jember Prof Dr. I Gede Widhiana Suarda, SH, M.HUM., dan Guru Besar Hukum Universitas Lampung Prof. Rudy Lukman, SH, MH, Ph.D di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (25/9/2025).

Menurutnya, langkah pemerintah merevisi undang-undang ini menunjukkan komitmen politik hukum Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat transparansi dan integritas dalam pengelolaan BUMN. “Dengan adanya konsideran hukum TAP MPR itu menegaskan bahwa keuangan BUMN tidak mungkin lepas dari keuangan negara. Itu menurut saya kunci,” ujar Rieke.

Ia juga menambahkan, pengaturan itu sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang menegaskan keuangan BUMN tidak dapat dipisahkan dari rezim keuangan negara. Dirinya juga menilai, memasukkan kembali rujukan TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi ke dalam konsideran hukum revisi UU BUMN menjadi penting supaya tidak ada multitafsir atas kedudukan BUMN.

“Bagi saya, TAP MPR ini menegaskan bahwa BUMN punya sifat constitutional importance karena menjalankan amanat konstitusi, terutama Pasal 33 UUD 1945. Itu sebabnya keuangannya harus dianggap sebagai keuangan negara,” jelasnya.

Ia mengingatkan kronologi ketika UU Nomor 1 Tahun 2025 disahkan pada Februari, lalu pada Maret muncul dua kasus besar, yakni di Pertamina terkait pengelolaan minyak mentah dan di PT ASDP Indonesia Ferry terkait pengadaan kapal. Menurut Rieke, kasus-kasus itu menunjukkan bahwa keberadaan BUMN tetap dalam jangkauan hukum publik dan aparat penegak hukum. “Itu tidak membuat mereka kebal hukum, terbukti penegakannya tetap dilakukan oleh KPK,” tegasnya.

Oleh karena itu, Rieke menekankan pentingnya audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pintu masuk penegakan hukum di BUMN. Ia meminta agar dalam revisi undang-undang ditegaskan secara eksplisit kewenangan BPK untuk memeriksa BUMN. “Supaya tidak multitafsir, BPK harus berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari audit BPK inilah seharusnya aparat penegak hukum melakukan tindak lanjut, bukan berdasarkan asumsi semata,” ujarnya.

Selain soal keuangan, Rieke mengaitkan revisi ini dengan komitmen politik hukum Presiden Prabowo Subianto. Baginya, langkah pemerintah merevisi UU BUMN sejalan dengan pernyataan Prabowo Subianto bahwa negara harus bersih, transparan, berintegritas, dan semua pengelola negara wajib tunduk pada pengawasan hukum publik.

“Ini memperlihatkan komitmen politik hukum nasional Presiden Prabowo. Kalimat ini nanti akan berpengaruh pada apakah pejabat di BUMN termasuk pejabat negara atau tidak,” kata Rieke.

Dirinya pun menyinggung komitmen politik ekonomi Presiden Prabowo yang berulang kali menegaskan pentingnya Pasal 33 UUD 1945 sebagai fondasi membangun ekonomi nasional. “Pasal 33 harus jadi dasar pijakan dalam membangun ekonomi kita, dan itu artinya BUMN punya peran strategis,” tutur Rieke.

Menutup pernyataan, Rieke berharap keterlibatan pakar hukum dan akademisi dalam pembahasan revisi UU BUMN akan memperkuat konsideran hukum agar lebih jelas. “Setiap kata, setiap titik koma di dalam undang-undang memiliki makna hukum. Karena itu jangan sampai kita salah menulis konsideran yang akan berpengaruh besar pada batang tubuh undang-undang,” tandas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu.

Comments are closed.

Exit mobile version