Tingginya angka stunting di Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi perhatian utama Komisi IX DPR RI. Para anggota dewan menyoroti pentingnya program pemberian makanan bergizi gratis dan kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi masalah gizi kronis ini.
Anggota Komisi IX DPR RI, Nauroji, mendesak agar akar masalah stunting di NTB ditelusuri lebih dalam. “Perlu dicari akar masalahnya, apakah sejak dalam kandungan kurang gizi, atau setelah anaknya lahir, atau karena tidak mendapatkan ASI eksklusif karena orangtuanya harus bekerja di luar negeri (PMI),” ujar Nauroji di Kantor Gubernur NTB, Rabu (28/5/2025).
Ia meyakini bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari pemerintah seharusnya bisa berperan besar dalam mengurangi stunting.
Nauroji juga menegaskan bahwa pelaksaan MBG bukan hanya tugas pemerintah pusat. Ia menekankan kewajiban pemerintah daerah (Pemda) untuk menganggarkan dana dari APBD guna membangun Satuan Penyelenggara Pemberian Gizi (SPPG) atau dapur gizi
“Pemda jangan lepas tangan, saya menyarankan setiap pemda wajib membangun dapur gizi,” tegasnya, menyoroti manfaat besar program ini dalam mengurangi stunting.
Senada dengan Nauroji, anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menekankan pentingnya penentuan Calon Penerima, Calon Lokasi (CPCL) yang tepat dalam program MBG yang diselenggarakan oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Hal ini bertujuan agar program tersebut benar-benar tepat sasaran dan efektif dalam menurunkan angka stunting.
Netty juga menyoroti pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah, BGN, dan Badan POM. “Sehingga menu yang disajikan betul-betul adalah menu atau makanan yang aman dari berbagai cemaran makanan dan tidak berujung pada kasus keracunan makanan,” tegasnya.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI Muazzim Akbar berharap target 400 Satuan Penyelenggara Pemberian Gizi (SPPG) atau dapur gizi di NTB dapat segera terealisasi pada tahun 2025.
“Program ini merupakan program prioritas Presiden Prabowo yang harus kita dukung bersama,” kata Muazzim.
Ia menambahkan bahwa percepatan pembangunan SPPG memerlukan sinergi dengan pemerintah daerah dan instansi terkait, termasuk BPOM. Muazzim meminta BPOM untuk tidak menunggu, melainkan proaktif terlibat dalam pengawasan makanan di setiap SPPG.
“BPOM harus ikut serta membantu program pemerintah ini, misalnya dengan datang ke masing-masing SPPG untuk secara langsung melihat makanan yang akan disajikan,” tegas Muazzim.
Hal ini penting untuk mencegah insiden seperti keracunan makanan atau temuan bahan makanan yang tidak layak.
Saat ini, dari target 400 SPPG di NTB, baru 54 dapur yang sudah beroperasi. Program ini diprioritaskan untuk anak-anak usia SD, TK, PAUD, SMP, dan SMA. Untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan balita, Muazzim menjelaskan bahwa pemberian makan bergizi akan dikoordinasikan dengan BKKBN dan Dinas Kesehatan, kemudian disalurkan melalui Posyandu.