Inspeksi mendadak yang dilakukan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ke AQUA di Kabupaten Subang membuka sorotan tajam terhadap sumber air yang digunakan industri besar. Kunjungan tersebut mengungkap fakta bahwa produksi air minum dalam kemasan raksasa ini mengambil dari sumur bor dalam, bukan semata-mata dari mata air pegunungan sebagaimana selama ini diklaim publik.
Menanggapi temuan itu, Anggota Komisi XII DPR RI Ateng Sutisna mendesak perusahaan untuk segera membuka hasil kajian “water stress assessment” dan memetakan zona rawan air tanah di wilayah operasional mereka.
“Izin penggunaan air tanah atau SIPA bukan izin yang berlaku selamanya. Izin tersebut harus terus dievaluasi sesuai dinamika ketersediaan air tanah yang sangat dipengaruhi oleh kondisi hidrologis,” tegas Ateng dalam keterangan tertulis yang diterima sinarharapan.com, di Jakarta, Rabu (29/8/2025).
Lebih lanjut, ia mendorong pemerintah dan pihak perusahaan untuk melakukan kajian water stress assessment secara menyeluruh. Kajian ini penting untuk memetakan kondisi sumber daya air tanah suatu wilayah agar dapat diklasifikasikan ke dalam zona merah, kuning, atau hijau.
“Dari hasil kajian tersebut akan terlihat apakah wilayah Subang tempat perusahaan AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) ini beroperasi termasuk zona aman atau justru zona rawan air tanah. Jika terbukti masuk zona merah, maka pengambilan air tanah harus dihentikan segera tanpa kompromi,” ujar Politisi Fraksi PKS itu.
Ia juga mengingatkan bahwa kegiatan konservasi di wilayah hulu tidak dapat dijadikan pembenaran bagi praktik eksploitasi berlebih di wilayah sensitif.
“Kegiatan konservasi hanya relevan bagi industri yang beroperasi di zona kuning atau hijau, dan itu pun tetap dibatasi. Tidak bisa konservasi dijadikan tameng untuk membenarkan penyedotan air tanah berlebih,” lanjutnya.
Ateng menambahkan, banyak perusahaan AMDK di daerah lain yang telah meraih predikat PROPER Hijau atau Emas, namun tetap harus melandaskan operasinya pada kajian ilmiah tentang kondisi air tanah.
“Label ramah lingkungan bukan jaminan bahwa pengelolaan sudah benar. Justru perusahaan yang meraih PROPER tinggi harus menjadi teladan dengan membuka hasil kajian ilmiah mereka kepada publik,” kata Ateng.
Sebagai perusahaan besar yang telah lama beroperasi di Indonesia, AQUA memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk memastikan bahwa setiap tetes air yang diambil telah melalui mekanisme yang berkelanjutan. Transparansi data dan hasil kajian merupakan bentuk akuntabilitas terhadap publik.
“Jika AQUA berani mempublikasikan hasil kajian secara terbuka, kegaduhan di masyarakat bisa ditepis dengan sendirinya. Namun jika belum ada, maka sudah saatnya berbenah dan siap menerima konsekuensi,” pungkas legislator Dapil Jawa Barat IX yang meliputi Sumedang, Majalengka, Subang.
Dengan temuan tersebut, dorongan agar perusahaan AMDK melakukan water stress assessment secara terbuka menjadi semakin relevan. Kajian ilmiah berbasis data lapangan akan memastikan kegiatan industri tetap sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Transparansi, sebagaimana disampaikan Ateng Sutisna, bukan hanya bentuk akuntabilitas, tetapi juga langkah strategis untuk menjaga kepercayaan publik terhadap industri air minum dalam kemasan.
