Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan, menilai usulan menjadikan Kota Solo atau Surakarta sebagai Daerah Istimewa Surakarta (DIS) masih perlu dikaji secara mendalam. Menurutnya, status daerah istimewa atau khusus semestinya tidak dilepaskan dari faktor sejarah dan budaya yang kuat.
“Kalau kaitannya dengan daerah khusus dan daerah istimewa, itu tidak terlepas dari aspek kesejarahan dan kebudayaan. Dua itu bobotnya. Makanya, secara konstitusional kita mengenal daerah istimewa seperti Yogyakarta dan Aceh, dan daerah khusus seperti DKI Jakarta,” ungkap Ahmad Irawan kepada wartawan, Senin (28/4/2025).
Ia menjelaskan, konstitusi Indonesia memang mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
“Itu termasuk hukum yang hidup di masyarakat atau living law. Jadi, ketika suatu daerah ingin menyandang status khusus atau istimewa, pertanyaan awalnya adalah: dia termasuk yang mana? Dan ingin dalam bentuk apa? Apakah sebagai provinsi, kabupaten, atau kota?” lanjutnya.
Diketahui, usulan menjadikan Solo sebagai daerah istimewa mengemuka dalam rapat Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kamis (24/4/2025). Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik, menyebut hingga April 2025 terdapat 341 usulan pemekaran daerah. Dari jumlah tersebut, 42 usulan pembentukan provinsi, enam usulan status daerah istimewa, dan lima permintaan status daerah khusus.
Usulan Daerah Istimewa Surakarta sendiri berasal dari Keraton Surakarta. Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta Hadiningrat, KPAH Dany Nur Adiningrat, menyebut gagasan ini bertujuan memperjuangkan hak-hak Keraton Surakarta dan Mangkunegaran.
“Dari Kemendagri terdengar bahwa usulannya adalah pemisahan dari Provinsi Jawa Tengah, menjadi provinsi tersendiri. Jadi bukan lagi kota, melainkan Provinsi Surakarta atau Provinsi Solo,” ujarnya.
Ahmad Irawan mengingatkan bahwa kajian terhadap naskah akademik pemekaran harus dilakukan secara cermat. Bila daerah tersebut ingin memperoleh keistimewaan, perlu ditelaah lebih lanjut keistimewaan apa yang dimaksud.
“Contoh, DI Yogyakarta memiliki keistimewaan pada kepala daerahnya yang tidak melalui proses Pilkada karena dijabat oleh Sultan. Sedangkan kekhususan Jakarta ada pada level kabupaten/kotanya yang tidak menggelar Pilkada. Nah, kalau Solo, apa yang jadi keistimewaannya?” tegas politisi Fraksi Partai Golkar itu.
Ia menambahkan, keistimewaan suatu daerah juga bisa ditinjau dari aspek politik, ekonomi, atau budaya. Namun hingga kini, ia belum melihat secara konkret keistimewaan atau kekhususan yang dimaksud dalam usulan Daerah Istimewa Surakarta tersebut.
“Jadi harus kita pelajari dulu. Kita dalami naskah revisinya, apa substansi kekhususan dan keistimewaannya. Apakah sebagai kota budaya, atau dari sisi lain? Kita perlu pertimbangan dari semua pihak, mendiseminasi dan mendiskusikannya secara terbuka, lalu memutuskan secara politik apakah layak atau tidak,” pungkasnya.