Komisi V DPR RI melakukan Kunjungan Kerja Spesifik ke Stasiun Kereta Cepat Karawang, Kamis (27/11), guna meninjau perkembangan aksesibilitas dan kesiapan infrastruktur pendukung Proyek Strategis Nasional (PSN) Kereta Cepat. Wakil Ketua Komisi V DPR, Roberth Rouw, dan Wakil Ketua DPR RI, Saan Mustopa, menegaskan pentingnya percepatan pembangunan akses menuju stasiun agar layanan kereta cepat dapat optimal dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat.

Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Roberth Rouw, menegaskan bahwa keberadaan Stasiun Karawang harus memberikan nilai tambah bagi kawasan industri maupun masyarakat luas. Untuk itu, pembangunan akses harus dipercepat dan diperluas oleh pemerintah pusat, daerah, serta pihak pengembang.

“Kami ingin memastikan Stasiun Kereta Cepat Karawang benar-benar bermanfaat. Akses menuju stasiun harus dibuka, baik oleh pemerintah daerah maupun pengembang,” ujarnya. Ia mengapresiasi inisiatif kawasan industri yang telah membangun jembatan di Kali Cibeet sebagai bagian dari kontribusi pengembangan akses.

Komisi V DPR juga meminta Kementerian PUPR mempercepat pembebasan lahan untuk akses tol langsung dari KM 42, yang ditargetkan rampung tahun 2026 agar pembangunan konstruksi dapat dimulai pada 2027. Menurut Roberth, percepatan itu penting agar kereta cepat dapat beroperasi efektif dan tidak menjadi beban negara.

Selain Karawang, Roberth turut menyoroti persoalan akses menuju Stasiun Padalarang dan Tegal Luar yang hingga kini masih macet dan berliku. Ia menegaskan agar jalur kereta cepat tetap diselesaikan sesuai rencana awal hingga masuk Kota Bandung.

“Kalau akses mudah, jumlah penumpang pasti naik dan kawasan baru bisa tumbuh. Pemerintah juga sedang membangun tiga juta rumah, itu perlu didukung akses transportasi yang baik,” tegasnya. Roberth juga meminta pengoperasian kereta reguler di Karawang agar segmen transportasi bagi masyarakat kecil tetap terlayani.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua DPR RI, Saan Mustopa, yang merupakan putra daerah Karawang, menekankan bahwa persoalan utama kereta cepat bukan pada kecepatan atau jarak tempuh, melainkan akses menuju dan keluar stasiun. “Dari Halim ke Karawang cuma 15 menit, tapi dari stasiun ini ke rumah saya bisa 2 jam. Ini kan masalah akses,” kata Saan.

Ia menegaskan bahwa sejak awal pembangunan proyek, dirinya mengikuti perkembangan kereta cepat, termasuk membantu menyelesaikan berbagai hambatan di daerah. Saan menilai bahwa analisis bisnis kereta cepat tidak bisa hanya mengandalkan jumlah penumpang, tetapi juga ekosistem pengembangan kawasan seperti Transit Oriented Development (TOD).

Menurutnya, akses yang buruk menyebabkan potensi ekonomi Karawang belum sepenuhnya tergarap, termasuk pengembangan Grand Outlet yang digadang-gadang menjadi pusat belanja bertaraf internasional. “Ada Grand Outlet, tapi mau ke sananya muter-muter lewat jalan kecil. Mobil besar saja tidak bisa masuk. Kalau akses baik, orang Jakarta dan Bekasi bisa datang dengan cepat dan membawa dampak ekonomi besar,” jelasnya.

Saan juga menyoroti pentingnya konsistensi perencanaan nasional, mengingat beberapa megaproyek sebelumnya—seperti bandara Karawang dan pelabuhan Cilamaya—gagal terlaksana karena perubahan kebijakan mendadak.

Saan dan Roberth sepakat bahwa pemerintah perlu mempercepat penyediaan akses tol, jalan utama, serta integrasi transportasi menuju Stasiun Karawang, Padalarang, dan Tegalluar. Tanpa itu, kereta cepat tidak akan mencapai target penumpang maupun manfaat ekonomi maksimal.

Saan menyampaikan apresiasi kepada Komisi V DPR, Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, dan pihak Kereta Api Cepat yang terus berupaya memperbaiki konektivitas. “Karawang adalah kawasan industri internasional dan sangat strategis. Saya harap semua pihak terus mendorong percepatan pembangunan akses agar manfaat kereta cepat benar-benar dirasakan masyarakat,” tutup Saan.

Comments are closed.

Exit mobile version