Di tengah derasnya arus perubahan sosial dan krisis nilai yang melanda generasi muda, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) bersama Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) mencoba kembali ke akar, melalui sarasehan kebudayaan bertajuk “MPR RI dan Gerakan Kebudayaan: Merajut Keindonesiaan, Menjawab Tantangan Zaman”, yang digelar di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, Rabu (30/7/2025).
Kegiatan yang mengangkat kembali “bale ngaji” sebagai simbol perlawanan terhadap krisis moral ini, selain dihadiri ratusan peserta dari kalangan pendidik, budayawan, tokoh adat, dan forum lintas etnis, juga menghadirkan H. Johan Rosihan, ST, Wakil Ketua Badan Anggaran MPR RI, sekaligus Anggota DPR RI Dapil NTB 1 (Pulau Sumbawa).
Johan Rosihan yang tampil sebagai pembicara utama menyampaikan bahwa bale ngaji bukan sekadar tempat belajar membaca Alquran. Tetapi, di Tana Samawa telah lama menjadi ruang pembentukan karakter dan etika sosial. Di sana, anak-anak tidak hanya diajarkan ayat suci, tetapi juga adab kepada orang tua, sopan santun terhadap sesama, hingga rasa malu sebagai pengendali diri.
“Bale ngaji adalah rumah cahaya. Di sana ada adab, ada penghormatan pada ilmu, ada ketundukan kepada guru, dan yang terpenting: ada tameng dari gelapnya zaman,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Johan menyampaikan kegelisahannya terhadap makin longgarnya ikatan nilai dalam masyarakat, terutama di kalangan muda. Menurutnya, bale ngaji dapat menjadi salah satu instrumen paling relevan untuk mengembalikan kekuatan karakter bangsa, terutama dalam menghadapi ancaman nyata seperti penyebaran narkoba yang kian menyasar anak-anak usia sekolah dasar.
Objektifikasi Krik Selamat Tau Samawa
Dalam sesi berbeda, Ketua Pejatu LATS, Dr. Ihsan Syafitri, menyampaikan pentingnya aktualisasi falsafah hidup orang Samawa. Ia menyinggung Krik Selamat Tau Samawa, sebuah konsep malu spiritual yang bersandar pada keyakinan: “Kengila ko Nene, Katakit Boat Lenge”—malu kepada Allah SWT, takut melakukan hal-hal buruk.
“Nilai ini bukan slogan. Ia adalah pedoman hidup. Bila semua generasi muda mengamalkannya, maka kita tak perlu takut akan masa depan negeri ini,” tegas Ihsan.
Sakeco dan Pesona Budaya Lokal
Sebagai penanda bahwa tradisi bukan milik masa lalu, dua siswi SMAN 3 Sumbawa Besar membawakan sakeco, seni tutur khas Samawa yang merangkai puisi rakyat (lawas-lawas) dalam irama dan langgam lokal. Suara mereka mengalun lembut sekaligus penuh tekanan makna, menyita perhatian peserta dan menyuguhkan suasana yang jauh dari seremonial.
Sakeco bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah warisan kultural yang menyimpan memori kolektif masyarakat, mengingatkan bahwa di balik setiap tradisi, ada kebijaksanaan yang bisa menjawab persoalan hari ini.
Sarasehan sendiri berlangsung cair namun penuh substansi. Ratusan peserta dari berbagai kalangan berdiskusi soal nasib kebudayaan di tengah zaman digital dan dominasi pasar. Di akhir sesi, para pendidik dan tokoh adat sepakat untuk mendorong kembali peran bale ngaji sebagai ruang edukasi moral sekaligus benteng sosial dari dalam masyarakat itu sendiri.
Johan Rosihan menutup sarasehan dengan ajakan untuk membumikan kembali nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat, serta menjadikan kebudayaan sebagai instrumen strategis memperkuat keindonesiaan.
“Konstitusi sudah menegaskan bahwa negara wajib memajukan kebudayaan nasional. Sekarang, mari kita jadikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam gerakan kebudayaan yang beradab dan berkeadilan,” pungkasny