Mengawali sambutannya, Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Melchias Markus Mekeng, menyampaikan bahwa pendidikan adalah persoalan paling fundamental dalam kehidupan berbangsa. Ia menegaskan, sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada bangsa yang maju tanpa meletakkan pendidikan di jantung kebijakan nasionalnya.
Oleh karena itu, ia meminta kepada pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, untuk menata ulang anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sesuai konstitusi. Anggaran pendidikan tersebut, kata Mekeng, utamanya diberikan kepada pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Sedangkan anggaran pendidikan kedinasan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2022, tidak boleh menggunakan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN.
“Sehingga kami berharap pada tahun anggaran 2026, anggaran pendidikan mayoritas diberikan kepada pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Sedangkan untuk anggaran pendidikan kedinasan, pemerintah harus menyiapkan dari sisi anggaran yang lain. Tidak bisa diambil dari anggaran pendidikan yang 20 persen,” kata Mekeng kepada wartawan di sela-sela Sarasehan Nasional Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tema “Merumuskan Kembali Anggaran Pendidikan Guna Mewujudkan Amanat Konstitusi Menuju Indonesia Emas 2045” di Gedung Pustakaloka, Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, pada Jumat, 8 Agustus 2025.
Turut hadir dalam sarasehan nasional ini Wakil Ketua MPR Kahar Muzakir, Pimpinan Fraksi Partai Golkar MPR RI, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, Sekretaris Jenderal MPR Siti Fauziah, serta narasumber sarasehan nasional, yaitu Prof. Dr. Muhammad Nuh (Menteri Pendidikan periode 2009–2014), Rektor Universitas Gadjah Mada Prof. dr. Ova Emilia, Rektor Universitas Trisakti Prof. Dr. Kadarsah Suryadi, Rektor Universitas Yarsi Prof. Dr. Fasli Jalal, dan Hendardi dari Setara Institute.
Mekeng menjelaskan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2022, pada Pasal 80 ditegaskan bahwa pengalokasian APBN setiap tahunnya ditentukan sekurang-kurangnya sebesar 20 persen dari belanja negara, dan dari alokasi tersebut tidak termasuk biaya pendidikan kedinasan. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24 Tahun 2007 sudah menghilangkan frasa dalam UU Sisdiknas Pasal 49 agar anggaran pendidikan kedinasan tidak masuk dalam anggaran pendidikan.
“Dan, ruh UUD NRI Tahun 45 Pasal 31 tentang anggaran pendidikan itu adalah anggaran pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Tidak membahas tentang anggaran pendidikan kedinasan. Kami tidak anti terhadap pendidikan kedinasan. Tapi, kami minta pendidikan kedinasan pun disiapkan anggaran, tapi tidak mengambil dari anggaran pendidikan,” katanya.
Ketika membuka sarasehan, Mekeng menyebutkan bahwa pada tahun 2025 anggaran pendidikan sebesar Rp 724 triliun. Berdasarkan data alokasi APBN bidang pendidikan, anggaran pendidikan formal sebesar Rp 91,2 triliun, dengan rincian Kemendikdasmen memperoleh Rp 33,5 triliun dan Kemendiktisaintek mendapat Rp 57,7 triliun. Anggaran sebesar itu digunakan untuk melayani 64 juta siswa/mahasiswa. Anggaran untuk program strategis seperti PIP, riset, serta infrastruktur sekolah sebesar Rp 101,5 triliun.
Sementara itu, anggaran pendidikan kedinasan sebesar Rp 104,5 triliun pada APBN 2025 diperuntukkan bagi 13.000 mahasiswa. “Apakah ini adil? 13.000 orang peserta pendidikan kedinasan mendapat Rp 104,5 triliun, sedangkan 64 juta siswa/mahasiswa hanya dikasih Rp 91,4 triliun,” kata Mekeng.
Dari anggaran pendidikan Rp 724 triliun tersebut, sebesar Rp 300 triliun dipakai untuk transfer daerah. “Transfer daerah itu adalah Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Itu tidak masuk dalam ranah pendidikan,” tegasnya.
“Kami melihat anggaran 20 persen APBN untuk pendidikan sudah diberikan. Tetapi penempatannya belum sesuai karena yang paling penting adalah pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Untuk itu dibutuhkan anggaran yang besar karena di daerah-daerah masih banyak fasilitas sekolah yang tidak layak, guru-guru tidak dibayar dengan layak, sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat,” tutup Mekeng.